Dunia kita memang penuh
ketidakpastian. Seperti halnya cuaca yang belakangan ini sulit ditebak, apakah
akan cerah, mendung, hujan atau badai. Sepak terjang dalam dunia ekonomi,
bisnis, politik maupun dinamika di tempat kerja pun kerap sulit diramal.
Seorang teman bercerita, ia pernah menghadapi “badai” dalam karier bekerjanya.
Ketika baru saja dinobatkan sebagai “The Best Employee” untuk yang kesekian
kalinya, tiba-tiba ia dipanggil oleh atasan dan mendapat vonis yang membuat ia
shock, yaitu dibebastugaskan dari posisinya yang sekarang dan diminta standby
untuk penugasan berikutnya. Pada saat ia berharap diganjar promosi atas
prestasinya yang baik, kenyataan yang terjadi malah sebaliknya. Pada saat rekan
lain yang berprestasi mendapat jabatan baru, ia malah merosot. Siapa yang tidak
terpuruk menghadapi kenyataan seperti ini?
Dalam situasi seperti ini, sangat
wajar bila kita merasa frustrasi. Ada yang mengklaim, mereka sudah lelah dan
tidak bisa melihat titik terang lagi. Kita juga bisa saja mencari alasan
pembenaran diri atau memilih untuk berhenti dan tidak melakukan sesuatu. Dalam
situasi gagal dan terpuruk, tak jarang juga kita melihat ada orang yang
menyalahkan kebijakan dan peraturan yang ada, menyalahkan atasan, pemegang
saham, ataupun situasi monopoli yang dihadapi.
Teman saya yang dijegal kariernya
mengatakan, atasan barunya merasa tidak terlalu cocok dengan dirinya. Meski
sempat jatuh terpuruk, tetapi ia kemudian memberi batas waktu pada masa
meratapnya. Teman kita ini kemudian berusaha menelaah ke dalam diri pribadinya.
“ Saya banyak bermawas diri. Saya sadar saya mempunyai beberapa kekuatan,
tetapi kelemahan saya pun ada. Mungkin selama ini saya terlalu congkak dan
tidak siap menghadapi benturan,” demikian ujarnya. Ketika enam bulan kemudian
diberi penugasan baru, ia sudah siap dengan sikap mental yang lebih rendah
hati, tetapi semangat yang berlipat ganda. Sekedar karena ia sudah menggarap
dirinya dan siap menggenjot kapasitasnya lagi.
Individu dengan mentalitas
seperti teman kita ini, kondisinya bisa disamakan dengan seekor elang. Pada
saat merasa bahwa bulu-bulunya tidak kuat lagi, ia akan berdiri tegak di sebuah
batu karang, tempat angin bertiup kencang merontokkan bulu-bulunya . Sesudah
itu, ia akan bersembunyi di antara batu-batu dan menunggu sampai bulu baru
tumbuh kembali.
Terbang “di atas” badai
Badai karier, badai ekonomi atau
badai rumah tangga, bisa dialami siapa saja. Situasi seperti ini pasti tidak
disukai oleh kita. Namun kita bisa belajar dari seekor elang yang justru bisa
memanfaatkan badai. Situasi yang sama ada dalam filosofi China, kata ”krisis”
mengandung makna yang sama dengan “kesempatan”. Jadi, badai adalah kesempatan.
Bagi elang, hewan pemangsa berdarah panas yang mempunyai sayap dan tubuh
diselubungi bulu pelepah, badai dianggap sebagai “kendaraan” untuk maju. Ia
bisa terbang sama cepat dengan badai, sehingga akhirnya angin badai bisa
mengusung dirinya untuk terbang lebih tinggi lagi, Di dalam dunia kerja, bisnis
dan politik, kita tahu bahwa kemampuan untuk “terbang tinggi” memberi kita
kesempatan untuk melihat situasi dari atas, sehingga kita bisa mempunyai visi
yang lebih jelas dan kuat.
Tentunya tidak mudah untuk kita
mulai mengganti paradigma untuk memandang masalah sebagai titik awal dari suatu
kemenangan. Padahal, seninya terletak pada pengaturan energy dan menjaga
kestabilan kekuatan justru pada saat orang lain atau competitor sedang
kehabisan napas atau bahkan sudah tidak berniat mengejar lagi. Dari elang, kita
bisa belajar untuk mengarur energy dan kewaspadaan kita dalam menghadapi segala
situasi, bahkan “make this happen” dan melakukan sesuatu yang tidak mungkin
menjadi mungkin. Seekor elang mempunyai hobi terbang tinggi, tidak kenal lelah,
tidak pernah menunggu dan tetap mencari kesempatan, Orang bermental elang adalah
orang yang bisa menempatkan kinerjanya dan memberi kontribusi yang berdampak besar,
tidak tanggung-tanggung.
Obsesi pada peluang
Banyak dari kita terbiasa terpaku
pada kelemahan diri(weaknesses) atau pada ancaman (threat) yang ada di sekitar
kita, Keinginan untuk membuka bisnis baru atau melakukan langkah terobosan tak
jarang terhambat karena kita sudah dipenuhi kekhawatiran tidak bisa bersaing
dengan competitor, kekurangan modal, terhambat oleh policy atau tidak punya SDM
yang handal. Jadi, kita memang perlu berhati-hati agar tidak berkutat dengan
melihat kekurangan demi kekurangan sehingga kemudian merasa lemah dan tidak
berdaya. Menganalisis kelamahan dan menghitung risiko memang diperlukan tetapi
yang lebih penting lagi adalah mengidentifikasi dan memfokuskan kekuatan diri
dan peluang yang bisa menghasilkan energy dan daya dorong yang lebih besar bagi
diri kita.
Orang dengan mentalitas elang.
Terobsesi pada kesempatan demi kesempatan yang ada. Ia pun sangat mengandalkan
kekuatannya. Bila dulu familier dengan konsep SWOT analysis (Strength –
Weakness – Opportunity – Threat), kita juga perlu mulai berlatih untuk berpikir
dengan konsep SOAR (Strengths – Opportunity – Aspiration – Result). Konsep yang
ditawarkan oleh Stavros, Cooperrider dan Kelly ini berorientasi “appreciative
enquiry”, yaitu menghargai dan menggali hal-hal positif dan kekuatan yang
terlihat maupun tersembunyi dalam diri kita. Para ahli ini berpendapat, “Allow
your thoughts to take you to heights of greatness”. Dengan pola pikir ini, kita
mengisi diri kita dengan obsesi terhadap aspirasi dan kesempatan sehingga
dengan sendirinya akan membawa kita dipenuhi optimisme untuk terus maju.
No comments:
Post a Comment